Selasa, 25 Desember 2012

Tidak akan diberi judul

Setiap hari pukul lima sore, aku tidak pernah tidak menunggu kamu.

Aku duduk di tempat biasa, lalu melamun.

Sudah sembilan bulan aku di sini, di sebuah kedai yang (menurutku) tidak istimewa, yang hanya beberapa langkah dari rumah kamu. Satu-satunya hal yang membuat kedai ini istimewa adalah karena aku pernah berada di sana dengan kamu.

Setiap hari, anehnya, pemilik kedai selalu mengubah warna meja. Kadang biru, hijau, merah, kadang juga hitam kekuning-kuningan, tapi seingatku tidak pernah ungu. Entahlah, aku pun tidak tertarik untuk bertanya kepada mereka apa alasannya.

Aku tidak bohong.

Bila kamu tidak percaya, sila tanyakan kepada pemilik kedai. Setiap hari pukul lima sore, aku tidak pernah tidak menunggu kamu. Menunggu hati yang terbuat dari batu, batu yang lebih padat dari kristal, dengan kadar keraguan yang hampir setengahnya.

Seperti biasa, sore ini aku ditemani pelayan tua yang tampak bosan dengan kursi plastik yang terus mengeluh karena terus-menerus kupantati.

'Pak, bubur ayamnya satu.'

Tanpa menoleh, pelayan tua itu mengangguk samar, dan segera mengambil mangkuk untuk menyiapkan bubur yang katanya istimewa.

Setiap hari pukul lima sore, aku tidak pernah tidak menunggu kamu.

Tahukah kamu, sejak hubungan kita berakhir, aku hanya meyakini bahwa kita saling bertemu hanya untuk saling percaya bahwa kamu mampu untuk pergi, dan aku mampu untun bertahan.

Aku tersadar dari lamunan ketika tiba-tiba kamu sudah ada di hadapanku. Kamu mengenakan jaket hitam yang pernah kupinjamkan, celana training yang bolong di bagian betis, dan kerudung ungu tanpa motif kesukaanmu.

Waktuku hanya tersisa sebentar lagi.

'Bolehkah aku bertemu kamu lagi?'

Aku terbangun sesaat setelah kamu menggelenkan kepala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar